Sabtu, 27 Oktober 2012

KELOMPOKTANI SEBAGAI WADAH PARTISIPASI PETANI


Sektor pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Jambi sehingga keberadaan petani sebagai bagian dari pelaku pembangunan menjadi sangat strategis. Upaya peningkatan kesejahteraan petani hanya dapat dilakukan apabila petani memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses penetapan kebijakan pembangunan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila petani mempunyai wadah kekuatan bersama yang mapan. Salah satu wadah yang dapat digunakan adalah kelompoktani. Kelompoktani hendaknya tidak saja difungsikan sebagai wadah kerjasama kegiatan usahatani tetapi sekaligus menjadi ajang latihan berorganisasi bagi petani agar dapat berperan lebih baik pada organisasi yang lebih besar. Dengan cara ini diharapkan kelompoktani menjadi salah satu kekuatan sosial dalam pembangunan pertanian. Keberadaan sebagian besar kelompoktani yang ada saat ini belum memperlihatkan wajah yang menggembirakan. Sejumlah kendala sosial budaya masyaraka serta kesalahan dalam pembinaan menjadi faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara sehat. Oleh karena itu untuk lebih memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu wadah partisipasi petani dalam proses pembangunan perlu diterapkan strategi penumbuhan dan pembinaan kelompoktani yang lebih mengandalkan prinsip-prinsip pemberdayaan dengan memperhatikan berbagai aspek budaya masyarakat.



Pendahuluan

Pertanian masih menjadi tulang punggung pembangunan daerah Provinsi Jambi. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa 64,4% dari seluruh tenaga kerja di wilayah ini menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hanya saja masih terlihat adanya kepincangan dalam kesejahteraan karena jumlah tenaga kerja tersebut hanya menghasilkan 28,29% dari total PDRB (Anonim, 2005). Ini menunjukkan bahwa petani, terutama petani kecil, belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan, yang merupakan salah satu dari tiga kriteria partisipasi dalam pembangunan yaitu: menetapkan sasaran; pelaksanaan kegiatan; dan menikmati hasil pembangunan. Dari ketiga aspek ini, aspek pertama merupakan yang paling penting karena pada tahap ini beneficiary (kelompok sasaran) mendapat kesempatan untuk membuat pilihan terhadap program-program yang lebih berpihak kepada kepentingan mereka. Untuk memungkinkan partisipasi petani kecil dalam proses penetapan sasaran pembangunan perlu adanya wadah yang dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara individu tetapi harus melalui kekuatan bersama yang terorganisir secara baik.
Kelompoktani merupakan salah wadah ideal untuk menyatukan kekuatan bersama petani yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Penggunaan istilah kelompoktani sesungguhnya hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa organisasi tersebut adalah milik petani. Dalam prakteknya organisasi ini dapat dengan nama apa saja tetapi prinsip penumbuhan dan pengembangannya mengikuti proses apa yang dilakukan pada kelompoktani. Hal itu yang akan diuraikan secara singkat pada bahasan berikut ini. Disamping itu pada bagian awal akan dijelaskan secara teoritis mengenai peran strategis kelompoktani dalam pembangunan.

Partisipasi dalam Pembangunan

Korten (1980) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses dengan mana suatu kelompok masyarakat meningkatkan kemampuan diri dan kelembagaan mereka untuk menggerakan dan mengelola sumberdaya untuk menciptakan kemajuan yang merata dan berkelanjutan terhadap kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri. Menggerakkan kemajuan secara swadaya merupakan tujuan utama dari suatu kegiatan pembangunan (Gow dan Morss, 1988). Efektifitas suatu program pembangunan terlihat dari sejauhmana program tersebut dapat berkelanjutan. Tacconi dan Tisdell (1992) melihat keberlanjutan proyek sebagai kemampuan proyek dalam memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada kelompok sasaran, baik selama pelaksanaan maupun purna proyek. Hal ini memerlukan perhatian menyeluruh yang mencakup faktor ekologi, budaya dan kelembagaan. Oleh karenanya untuk mendapatkan proyek yang berkelanjutan, bersamaan dengan pembangunan fisik dalam pelaksanaan proyek, maka diperlukan peningkatan kapasitas sosial masyarakat pada setiap tahapan pembangunan.
Belajar dari proyek pembangunan pedesaan di beberapa negara berkembang, Tacconi dan Tisdell (1992) mencatat bahwa pendekatan cetak biru, dimana proyek diarahkan hanya untuk mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan bantuan dan pelayanan, cenderung menciptakan proyek yang diintroduksi oleh orang luar daripada mengakomodasi keiinginan masyarakat setempat. Dengan pendekatan ini keberlanjutan proyek akan sulit dicapai. Oleh karena itu para ahli sepakat bahwa partisipasi peserta proyek merupakan suatu kebutuhan dalam mencapai keberlanjutan suatu program pembangunan (AIDAB, 1991; Chamala, 1995; Gow dan Morss, 1988; Korten, 1980; Paul, 1989; Petch dan Pleasant, 1994).
PBB mengajukan suatu pendekatan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dikenal dengan istilah popular participation, yang mengacu pada tiga aspek saling terkait: (i) persamaan kesempatan dalam menikmati hasil pembangunan; (ii) pemerataan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan pembanguan; dan (iii) pemerataan keterlibatan dalam proses pengabilan kebijakan pembangunan. Yang perlu digarisbawahi bahwa partisipasi dalam perencanaan merupakan tahap yang paling penting karena hal ini memberi arti pada kegiatan yang lebih luas daripada hanya sekedar membuat pilihan dari program yang telah dipersiapkan oleh pemerintah. Proses perencanaan ini meliputi tiga tahap: (i) memilih alternatif yang disiapkan; (ii) menentukan cara yang terbaik untuk menerapkan keputusan yang telah ditetapkan; serta (iii) mengevaluasi tindak lanjut dari kegiatan yang telah dilaksanakan (the United Nations, 1981). Untuk itu jangan berharap petani dapat berpartisipasi dalam pembangunan apabila mereka tidak didorong untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Menumbuhkan keberanian masyarakat mengutarakan pendapat mereka merupakan kunci keberhasilan partisipasi dalam perencanaan. Oleh karena itu Rahman (1990) menyimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat untuk mampu menjelaskan dan mengutarakan arti pembangunan sosial bagi mereka sesungguhnya merupakan inti dari pembangunan sosial itu sendiri. Untuk melihat sejauh mana pemberdayaan itu dapat ditumbuhkan dapat dilihat dari tiga faktor: (1) Organisasi bagi anggota masyarakat, meliputi kemampuan mereka dalam mengelola organisasi dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain; (2) Kewaspadaan sosial (social awardeness), yaitu pengertian masyarakat terhadap fungsi mereka dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini diperlukan untuk meningkatkan rasa kesetaraan antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya; (3) Rasa percaya diri (self reliance), yaitu kombinasi dari kekuatan sosial dan mental yang muncul dari solidaritas, kebersamaan dan kerjasama untuk maju serta melawan dominasi pihak lain.
Banyak pakar yang berpendapat bahwa organisasi sosial yang dikontrol oleh masyarakat merupakan suatu dasar yang dibutuhkan dalam partisipasi yang efektif. Organisasi semacam ini sangat penting untuk memungkinkan masyarakat desa yang rentan dalam menyampaikan pendapat, memobilisasi sumberdaya dalam kegiatan swadaya serta menyalurkan aspirasi mereka dalam pengambil kebijakan politik dan ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi (Korten, 1980). Untuk mengharapkan petani kecil berpartisipasi aktif dalam perencanaan merupakan hal yang tidak realistis. Di negara maju para petani telah mampu mengorganisasi diri sehingga dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) dalam menyalurkan aspirasi mereka, tetapi di negara berkembang para petani tidak terorganisasi secara baik untuk tujuan semacam ini. Untuk itu maka keterlibatan dalam kelompoktani merupakan media belajar yang baik untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan (Adams, 1982).
Pranadji (2003 meyakini bahwa proses marjinalisasi (pemiskinan) petani Indonesia selama ini erat kaitannya dengan lemahnya pembinaan kelembagaan petani. Dikatakannya bahwa kerapuhan kelembagaan memiliki peran besar dalam mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian dan) pedesaan. Jika sistem kelembagaan suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh. Kemudian ia juga menegaskan bahwa jika saja aspek kelembagaan ini sejak awal menjadi “penggerak utama” pembangunan pertanian dan pedesaan di negara kita maka tidak tertutup kemungkinan kemajuan bangsa Indonesia tidak akan kalah dengan Malaysia, Taiwan dan bahkan Jepang.

Peran Kelompoktani

Ketentuan mengenai kelompoktani secara garis besar telah diatur oleh Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan nomor: 41/Kpts/ OT.210/1/92 tanggal 29 Januari 1992 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani – Nelayan. Di dalam SK tersebut dicantumkan definisi Kelompoktani – nelayan adalah kumpulan petani nelayan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya), keakraban dan keserasian, yang dipimpin oleh seorang ketua. Dijelaskan juga di dalam SK tersebut bahwa kelompoktani bersifat non-formal dalam arti tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis ataupun tidak.
Kata “kelompok” pada kelompoktani mencermin penegasan bahwa wadah kerjasama ini lebih dekat kepada kelompok sosial daripada organisasi. Artinya kelompoktani lebih mementingkan aspek ikatan sosial antar anggotanya daripada struktur organisasinya. Tetapi pada kenyataannya pembinaan kelompoktani diarahkan untuk mengembangkan suatu organisasi yang mempunyai tujuan, struktur organisasi, pembagian tugas pengurus yang jelas serta kelengkapan administrasi yang baik. Oleh karena itu mengacu kepada Wursanto (2003), maka berdasarkan pembentukannya kelompoktani dikategorikan sebagai organisasi non-formal sedang ditinjuak dari tingkat keresmiannya kelompoktani tidak lagi dapat dikategorikan sebagai organisasi informal tetapi sudah mengarah kepada organisasi formal.
Secara garis besar peran kelompoktani adalah:
(a) Sebagai kelas belajar – mengajar. Kelompoktani merupakan wadah bagi anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusahatani – nelayan yang lebih baik dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
(b) Sebagai unit produksi usahatani – nelayan. Kelompoktani merupakan satu kesatuan unit usahatani – nelayan untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan.
(c) Sebagai wahana kerjasama. Kelompoktani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama anggota dan antara kelompok dengan pihak lain.
Tidak banyak diketahui mengenai keadaan kelompoktani di Provinsi Jambi saat ini. Suatu penelitian pendahuluan mengenai kelompoktani di Provinsi Jambi dilakukan oleh Jamal (2004) dapat dijadikan salah satu gambaran. Dengan menggunakan tiga indikator kinerja kelompoktani yaitu pertemuan rutin, pengelolaan uang kas dan pergantian pengurus dari 2.326 kelompoktani yang diamati diperoleh 53,02 % kelompok tidak mempunyai kegiatan pertemuan rutin, 58,12% tidak mengelola uang kas, dan 61,99% tidak melakukan pergantian pengurus secara rutin. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh kelompoktani yang diamati sesungguhnya tidak berjalan secara aktif. Melihat kenyataan di lapangan dari kelompoktani yang selama ini sudah ada memang belum banyak dapat diharapkan untuk bisa berkembang dengan baik. Paling tidak ada empat faktor yang menjadi penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara benar:
(a) Selama pemerintahan Orde Baru organisasi yang berbasis masyarakat kurang diberi kebebasan untuk berkembang oleh pemerintah. Pembentukan organisasi kemasyarakatan terkesan harus dilakukan oleh pemerintah dan hanya diperbolehkan jika memenuhi kepentingan pemerintah. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak terbiasa menumbuhkan sendiri organisasi yang mereka butuhkan sehingga sangat sedikit memiliki pengalaman berorganisasi.
(b) Pendidikan formal di negara kita kurang mengajarkan kepada muridnya untuk mampu berkomunikasi dengan baik. Seperti umumnya kita temui di sekolah-sekolah, murid dididik untuk selalu menerima dan tidak diberi cukup kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Proses pendidikan seperti ini telah melahirkan generasi yang kurang mampu berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara baik. Kekurangmampuan dalam berkomunikasi ini menjadi faktor penghambat berkembangkan suatu organisasi karena komunikasi merupakan sarana utama tumbuhnya kebersamaan di dalam organisasi.
(c) Banyaknya ditemui penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah selama ini, dengan membentuk berbagai kelompoktani tanpa memperhatikan hakikat keberadaan organisasi tersebut. Kelompoktani dibentuk hanya untuk kepentingan proyek dalam menyalurkan bantuan pemerintah. Karena pembentukan organisasi ini tidak melalui proses yang benar maka banyak diantaranya kemudian bubar, bahkan disalah gunakan oleh oknum tertentu. Pengalaman buruk seperti ini membuat masyarakat memiliki pemahaman yang salah terhadap keberadaan kelompoktani.
(d) Kuatnya budaya paternalistik (patuh kepada tetua dan tokoh masyarakat) di sebagain besar masyarakat Indonesia. Budaya ini cenderung akan melahirkan sikap ewuh pakewuh yang akan memberi peluang kepada kelompok elit untuk mengendalikan jalannya organisasi.
Dengan kondisi seperti yang dijelaskan diatas maka penumbuhan dan pengembangan kelompoktani memerlukan strategi serta sistem pembinaan yang lebih terencana dan terintegrasi. Pembinaan kelompoktani tidak bisa dilakukan hanya dengan mennggunakan kekuatan eksternal tetapi harus lahir dari kebutuhan bersama dan keswadayaan para anggotanya. Yang lebih penting lagi kegiatan kelompoktani harus betul-betul mencermin aspirasi anggotanya sehingga iklim demokrasi yang disertai ikatan kekeluargaan menjadi sangat penting.

Strategi Penumbuhan dan Pengembangan

Melihat pentingnya kelompoktani dalam pembangunan, khususnya pembangunan pedesaan dan pertanian, maka diperlukan upaya penumbuhan dan pengembangan kelompoktani secara terintegrasi dengan pembangunan pertanian. Dari sisi penumbuhannya, kelemahan paling mendasar dari kelompoktani yang ada saat ini umumnya dikarenakan penumbuhannya yang tidak mengikuti proses yang benar. Instansi pembina biasanya hanya ingin cepat-cepat ada kelompoktani begitu anggaran untuk bantuan kepada petani tersedia. Praktik semacam ini hendaknya diubah dengan cara menumbuhkan kelompoktani betul-betul secara alami yaitu dari kesadaran atas adanya kebutuhan bersama. Chamala dan Keith (1995) memperkirakan perlu waktu sekitar 6 bulan untuk memulai suatu kegiatan kelompoktani, yang diawali dari mencari dukungan dari anggota dan tokoh masyarakat sampai melakukan kegiatan awal yang dirancang secara bersama.
Kelompoktani dapat juga ditumbuhkan dari kelompok kerja yang ada di masyarakat. Di masyarakat pedesaan ditemui berbagai kelompok kerja yang dibentuk atas kebutuhan kerja bersama seperti untuk mengolah lahan, memanen padi dan penyediaan sarana produksi. Pada masyarakat pedesaan Jambi dikenal suatu kelompok kerja dengan istilah “pelarian”. Melalui kelompok kerja inilah kemudian dibangun kesepakatan yang selanjutnya dikukuhkan dengan suatu aturan yang lebih formal dalam kelompoktani.
Dari sisi pengembangannya, yang sangat perlu diperhatikan adalah pembinaan yang terus menerus terhadap manajemen kelompok. Belajar dari pengalaman mengevaluasi kegiatan kelompoktani di beberapa negara berkembang maka Oxby (1983) mencatat bahwa inisiatif pemerintah untuk membentuk suatu kelompok bukan merupakan masalah yang dapat menghambat keberlanjutan kelompok, asalkan kemudian diikuti dengan upaya pembinaan untuk menjadikan kelompok tersebut sepenuhnya mandiri dan didukung oleh para anggotanya. Selain itu kelompok cenderung lebih efektif dan berkelanjutan apabila memiliki hubungan melembaga dengan organisasi setempat sehingga kelompok diakui keberadaannya di tingkat lokal. Hubungan melembaga dapat antara kelompoktani dengan organisasi di luar kelompoktani seperti PKK, Pemerintahan Desa dan LSM. Sedangkan kerjasama melembaga antar kelompoktani diharapkan dapat melahirkan berbagai kegiatan gabungan kelompoktani seperti koperasi dan asosiasi kelompoktani. Melalui hubungan melembaga inilah kemudian kelompok dapat berkembang untuk berperan pada cakupan yang lebih luas, bahkan dapat menjadi bagian dari kekuatan politik petani.
Masalah komunikasi di dalam kelompok perlu menjadi perhatian utama karena hambatan sosial dalam berkomunikasi dapat menjadi kendala serius terhadap keberlangsungan kelompok. Hal ini tentunya tidak terlepas dari budaya paternalistis yang umum ditemui di sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk itu pembinaan yang mendorong anggota kelompok agar mampu berkomunikasi dengan baik menjadi kunci keberhasilan pembinaan manajemen kelompoktani. Pembinaan dapat dilakukan melalui pelatihan ataupun dengan membentuk kelompok yang lebih homogen. Kelompok yang homogen, dengan anggota yang merasa lebih setara, dapat mengurangi rasa ewuh pakewuh yang berpotensi menjadi penghalang jalannya komunikasi secara efektif.

Penutup

Demikianlah uraian singkat mengenai pentingnya kelompoktani serta upaya untuk memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu instrumen kelembagaan petani dalam mendukung pembangunan daerah khususnya, serta pembangunan nasional umumnya. Uraian ini tentunya memerlukan tambahan masukan dari berbagai pihak agar dapat diimplementasikan menjadi suatu acuan kebijakan yang lebih operasional.
Daftar Pusataka

Adams, M.E. 1982. Agricultural Extension in Developing Countries. Intermediate Tropical Agricultural Series. Longman.
AIDAB. 1991. Social Analysis and Community Participation: Guideline and Activity Cycle Checklist. AIDAB.
Anonim, 2005. Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2006 – 2010. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.
Chamala, S. 1995. Overview of participative action approaches in Australian land and water management. In: Chamal, S dan K. Keith (eds) Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.
Chamala, s dan Keith, K. 1995. Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.
Gow, D.D. dan E.R. Morss. 1988. The notoriuos nine: Critical problems in project implementation. World Development. Vol. 16(12): pp. 1399-1418.
Korten, D.C. 1980. Community organisation and rural development: a leraning process approach. Public Administration Review. Vol. 40(5): pp. 480-511.
Jamal, H. 2004. Studi Pendahuluan Kinerja Kelompotani di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT) dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi tanggal 13-14 Desember 2004 di Jambi: pp. 314-318. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Oxby, C. 1983. “Farmer groups” in Rural Areas of Third World. Community Development Journal. 18(1): 50-59.
Paul, S. 1989. Poverty alleviation and participation: the case for government-grassroots agency collaboration. Economic and Political Weekly. January 14: pp. 100-106.
Petch,B. Dan J. Mt. Pleasant. 1994. Farmer-controled diagnosis and experimentation for small rural development organisations. Journal for farming Systems Research-Extention. Vol. 4(2): pp. 71-81.
Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Deptan. Bogor.
Rahman, M.A. 1990. Qualitative dimensions of social development evaluation: tehmatic papaer in: Marsden, D. And P. Oaxley (eds.). Evaluating Social Development Projects. Oxfam. Oxford. Pp. 40-50.
Tacconi, L. Dan C. Tisdell. 1992. Rural Development Project in LDCs: appraisal, participation and sustainability. Public Administration and Development. Vol. 12: pp.267-178.
The United Nations. 1981. Popular Participation as A Strategy for Promoting Community-level Action and National Development . The United Nations. New York.
Wursanto, Ig, 2003. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Penerbit Andi. Yogyakarta

(Diterbitkan pada majalah “Jambi Prospektif” Edisi I nomor 9 tahun 2007)

STUDI PENDAHULUAN KINERJA KELOMPOKTANI


Studi pendahuluan ini merupakan suatu penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi dengan menggunakan metode yang sederhana. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tidak langsung melalui menyebarkan angket kepada 291 responden yaitu PPL yang membina kelompoktani di sepuluh kabupaten / kota yang ada di Provinsi Jambi. Untuk mengetahui kinerja kelompoktani digunakan tiga indikator utama yaitu pertemuan rutin, pemupukan modal dan pergantian kepengurusan kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kelompoktani yang dibina oleh seluruh responden adalah sebanyak 2.326 kelompok, yang terdiri 17 kelompok kelas utama, 188 madya, 806 lanjut, 928 pemula, 368 belum dikukuhkan dan 19 kelompok tidak diketahui kelasnya. Dari jumlah tersebut 53,02% kelompoktani tidak melakukan pertemuan rutin sedangkan sisanya mempunyai kegiatan pertemuan rutin. Kelompoktani yang tidak mengelola uang kas kelompok sebanyak 58,12% sedangkan sisanya mengelola uang kas sampai dengan. Sementara itu kelompoktani yang melakukan pergantian kepengurusan secara rutin sebanyak 39,01%, sedangkan sisanya melakukan pergantian pengurus dalam selang waktu yang tidak tentu. Didapat 33 responden yang tidak mengetahui tentang kegiatan pertemuan rutin 200 kelompoktani binaannya; 57 responden yang tidak mengetahui tentang pemupukan modal 417 kelompoktani binaanya.; dan 60 responden yang tidak mengetahui tentang pergantian pengurus 450 kelompoktani binaannya..



1. Pendahuluan

Perubahan paradigma pembangunan pertanian Indonesia, dari peningkatan produksi menjadi pendekatan agribisnis, membutuhkan petani dengan posisi tawar yang kuat. Hal ini hanya dapat dicapai jika petani mampu berhimpun dalam suatu kekuatan bersama, seperti halnya kelompoktani. Kelompoktani yang berfungsi sebagai kelas belajar, unit produksi usahatani nelayan dan wahana kerjasama antar anggota kelompok atau antara anggota kelompok dengan pihak lain (Deptan, 1989) merupakan salah satu kebutuhan dalam proses industrialisasi pertanian. Kelompoktani merupakan sarana untuk menggali potensi sumberdaya manusia, baik potensi mental psikologisnya maupun potensi fisik teknis yang dimiliki petani (Adjid, 1981).
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa diperlukan kelompoktani dalam pembangunan pertanian di pedesaan Indonesia. Pertama, rendahnya rasio jumlah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dibandingkan dengan jumlah petani sehingga diperlukan wadah yang dapat mempermudah kerja PPL dalam melaksanakan tugas penyuluhan mereka. Kedua, terbatasnya sumberdaya yang dimiliki petani secara individual sehingga dengan bekerjasama dalam kelompok akan mendorong petani untuk menggabung sumberdaya mereka menjadi lebih ekonomis. Ketiga, perilaku berkelompok sudah merupakan budaya Indonesia, terutama di pedesaan. Sebagian besar aktivitas masyarakat pedesaan sangat dipengaruhi oleh keputusan kelompok (Martaamidjaja, 1993). Oleh karena itu kinerja kelompoktani merupakan salah satu aspek penunjang yang penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan agribisnis, terutama di pedesaan.
Saat ini di Provinsi Jambi terdapat 6.287 kelompoktani (BBKP, 2003). Hanya saja tidak ditemui adanya informasi yang layak mengenai kinerja kelompotani yang ada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Salah satu kesulitan dalam menyediakan informasi mengenai kinerja kelompoktani adalah dikarenakan indikator yang digunakan selama ini yaitu Lima Jurus Kelompok bersifat sangat kualitatif sehingga relatif sulit diukur. Guna mendapatkan gambaran umum mengenai kinerja kelompoktani yang ada di Provinsi Jambi maka dilakukan penelitian ini. Penelitian ini disebut sebagai studi pendahuluan karena aspek yang dikaji hanya berupa kinerja manajemen internal kelompok yang mudah diamati secara kuantitatif saja. Selain itu metode pengumpulan data dilakukan secara tidak langsung melalui PPL selaku petugas pembina kelompoktani.

2. Metode Penelitian

Format penelitian ini sebagaimana yang digariskan oleh Faisal (2003) merupakan penelitian deskriptif, untuk mengetahui kondisi dan kinerja kelompoktani yang ada di Provinsi Jambi. Pendekatan yang digunakan adalah survey dengan unit studi adalah kelompoktani. Metode pengumpulan data melalui pengiriman angket kepada PPL yang membina kelompoktani. Angket ini berisi enam pertanyaan yang menyangkut kelompok binaan responden yaitu jumlah kelompok dan desa binaan, kelas kelompok, jumlah anggota kelompok, pertemuan rutin, modal kelompok; dan pergantian kepengurusan kelompok (contoh angket terlampir). Pengiriman angket kepada responden dilakukan melalui instansi pembina PPL di tingkat kabupaten / kota pada bulan Mei s/d Agustus 2004. Jumlah angket yang dikirim masing-masing sebanyak 50 angket untuk setiap kabupaten / kota se- Provinsi Jambi.
Responden ditentukan secara tidak sengaja atau incidental sampling (Faisal, 2003; Shahab, 2003) pada saat PPL hadir di kantor pembina kabupaten / kota atau pada saat pertemuan rutin. Angket yang diserahkan kepada rsponden terdiri dari (1) Surat pengantar singkat yang menjelaskan maksud penelitian dan tata cara pengisian angket; (2) lembaran angket; dan (3) amplop kosong yang distempel dengan tulisan “Survey Aktivitas Kelompoktani”. Angket yang sudah diisi oleh responden dikembalikan lagi kepada instansi pembina secara tertutup dan tanpa identitas untuk selanjutnya dikirimkan kembali kepada peneliti. Data yang masuk diolah secara sederhana dengan menggunakan program Excel.
Salah satu keterbatasan metodologis penelitian ini adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tidak langsung pada objek penelitian. Dengan metode ini akurasi data yang dikumpulkan sangat tergantung pada kejujuran, daya ingat dan independensi PPL selaku responden. Guna mengurangi bias akibat ketidak tahuan responden maka pada angket diberikan juga alternatif jawaban “tidak tahu”, untuk menunjukkan bahwa responden tidak tahu atau tidak ingat dengan informasi yang ditanyakan.

Jumlah Sampel Studi Pendahuluan Kinerja Kelompoktani di Provinsi Jambi

Kab/Kota PPL Kelompoktani
1. Kota Jambi 12 53
2. Batang Hari 26 167
3. Muaro Jambi 23 139
4. Bungo 34 221
5. Tebo 45 275
6. Merangin 24 152
7. Sarolangun 49 434
8. Tanjab Barat 35 337
9. Tanjab Timur 22 295
10. Kerinci 21 253
Jumlah 291 2.326

Jumlah Provinsi Jambi PPL = 923 Kelompoktani = 6.287

Keterangan:
Data diolah dari berbagai sumber yang menunjukkan hanya jumlah PPL yang secara langsung membina kelompoktani di lapangan pada saat penelitian


2. Hasil dan Pembahasan

a. Responden

Dari 500 angket yang dikirimkan ke sepuluh kabupaten / kota yang ada di Provinsi Jambi sampai dengan pertengahan Desember 2004 telah kembali sebanyak 291 angket yang layak untuk diolah. Jumlah kelompoktani, PPL pembina kelompoktani dan responden masing-masing kabupaten / kota disajikan pada tabel 1.

b. Kelas dan Keanggotaan Kelompok

Dari 2.326 kelompoktani yang dibina oleh responden ditemui 17 kelompok (0,74%) yang merupakan kelompoktani kelas utama; 188 kelas madya (8,15%); 806 kelas lanjut (34,94%); 928 kelas pemula (40,23%); dan 368 belum dikukuhkan (15,95%). Sedangkan jumlah anggota setiap kelompok sebagian besar (57,08%) sebanyak 20 – 30 orang. Sisanya dengan jumlah anggota <10 orang sebanyak 1,08%; 10 – 20 orang sebanyak 20,36%; 30 – 40 orang sebanyak 16,68%; 40 -50 orang sebanyak 2,64%; dan >50 orang sebanyak 2,16%. Jumlah anggota per-kelompok yang ditemui pada penelitian ini cukup baik, sebagaimana direkomendasikan oleh Heim (1990) yaitu antara 20 – 40 orang, dan tidak melebihi 60 orang. Walaupun hasil pengkajian Oxby (1983) bahwa jumlah anggota kelompok bukan merupakan faktor yang penting terhadap aktivitas dan keberlangsungan kelompoktani.

c. Pertemuan Rutin

Sebagian besar (53,02%) kelompoktani tidak mempunyai kegiatan pertemuan rutin. Sedangkan sisanya mempunyai kegiatan pertemuan rutin dengan rincian: 5,90% kelompok melakukan pertemuan rutin setiap minggu; 30,50% setiap bulan; dan 10,58% setiap dua bulan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelompoktani belum berfungsi secara baik sebagai wadah interaksi petani. Interaksi kelompok ini hanya dapat berjalan baik jika kelompok memiliki pertemuan rutin. Pertemuan rutin lebih memberikan nuansa demokratis bagi anggota kelompok, daripada yang bersifat insidentil dimana inisiatif pertemuan cenderung dibuat oleh pengurus saja. Menurut Sukaryo (1983) efektivitas kelompoktani sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi antar anggota kelompok. Melalui interaksi internal inilah tercipta diskusi, kesimpulan dan keputusan untuk menerapkan teknologi anjuran, menjaga loyalitas, dan memantau dan mengevaluasi program kerja kelompok tersebut secara berkala.

d. Pemupukan Modal

Pemupukan modal kelompok dicerminkan dari besarnya modal yang dikelola oleh kelompoktani. Aspek ini merupakan salah satu faktor penentu dari Lima Jurus Kemampuan Kelompoktani. Didapat sebagian besar kelompok (58,12%) kelompok tidak mengelola uang kas. Sedangkan kelompok yang mengelola uang kas < Rp 1 juta sebanyak 22,94%; Rp 1 – 10 juta sebanyak 16,30%; Rp 10 – 50 juta sebanyak 2,37%; Rp 50 -100 juta sebanyak 0,21%; dan > Rp 100 juta sebanyak 0,05%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas kelompoktani belum berperan secara baik sebagai wadah kerjasama ekonomi petani, terutama untuk menjadi lembaga ekonomi mikro. Llanto dan Balkenhol (1996) menyimpulkan bahwa penyaluran kredit secara berkelompok dan jaminan kelompok merupakan cara yang efektif dalam mengatasi kendala agunan dalam penyediaan kredit untuk kreditor mikro.

e. Pergantian Pengurus

Peran pengurus dalam pengambilan keputusan kelompoktani sangat dominan yaitu lebih dari 70% dibandingkan dengan partisipasi anggota (Sukaryo, 1983). Oleh karena itu pergantian kepengurusan secara rutin akan menjamin lahirnya keputusan kelompoktani yang lebih demokratis. Pada penelitian ini didapat sebanyak 66,70% kelompoktani melakukan pergantian kepengurusan dalam periode waktu yang tidak menentu. Sementara itu 4,57% kelompok melakukan pergantian setiap tahun; 4,82% setiap dua tahun; 7,72% setiap tiga tahun; 3,60% setiap empat tahun; dan 7,77% setiap lima tahun. Dengan demikian sebagian besar kelompoktani menunjukkan indikasi kurang berperan sebagai wadah pengambil keputusan secara demokratis.

f. Jawaban “tidak tahu”

Dari hasil penelitian ini didapat jawaban “tidak tahu” dari sejumlah responden. Jawaban ini menunjukkan bahwa responden tidak ingat atau tidak mengetahui mengenai informasi yang berkaitan dengan sebagian atau seluruh kelompoktani binaan mereka. Informasi yang di jawab “tidak tahu” oleh responden meliputi: (a) tentang kelas kelompok dijawab oleh 5 responden (1,72%) terhadap 19 kelompoktani; (b) tentang pertemuan rutin kelompok dijawab oleh 33 responden (11,34%) terhadap 200 kelompoktani; (c) tentang pemupukan modal kelompok dijawab oleh 57 responden (19,59%) terhadap 417 kelompoktani; dan (d) tentang pergantian pengurus kelompok dijawab oleh 60 responden (20,62%) terhadap 450 kelompoktani.
Sungguhpun jumlah jawaban “tidak tahu” ini tidak terlalu besar tetapi angka ini menunjukan indikasi cukup menonjolnya kasus kekurang pedulian responden selaku PPL terhadap kelompoktani binaanya. Hal ini dapat dimaklumi karena kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan kelompoktani memang kurang dihargai sebagai indikator kinerja PPL. Sebagai contoh dapat dilihat dari nilai angka kredit untuk kegiatan menumbuhkan kelompoktani diberi nilai 0,625; sedangkan kegiatan meningkatkan kemampuan kelompoktani diberi nilai 0,144 – 0,720. Angka ini tentunya relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai yang diberikan terhadap kegiatan mengikuti Diklat selama 2 minggu yaitu dengan nilai 2.

3. Kesimpulan dan Saran

a. Dengan menggunakan tiga indikator sederhana yaitu pertemuan rutin, pemupukan modal dan pergantian rutin pengurus kelompok, secara umum disimpulkan bahwa kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi masih relatif rendah;
b. Terdapat indikasi menonjolnya jumlah PPL yang melaksanakan kegiatannya dengan tidak berorientasi pada pembinaan kelompoktani sebagai basis pembinaan pertanian. Hal ini dibuktikan masih ditemui sejumlah PPL yang tidak mengetahui kondisi kelompoktani binaanya, sekalipun mengenai hal-hal yang sederhana;
c. Perlu dilakukan inventarisasi ulang terhadap kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi dengan cara yang lebih komprehensif untuk mendapat data yang lebih akurat mengenai kondisi kelompoktani yang ada;
d. Perlu dilakukan reorientasi kebijakan instansi pembina pembangunan pertanian untuk lebih memposisikan peran kelompoktani dalam menunjang kegiatan pembangunan pertanian, terutama di pedesaan;
e. Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap indikator kinerja PPL, terutama yang berkaitan dengan pembinaan kelompoktani agar dapat memberikan insentif yang lebih rasional atas kinerja PPL dalam pembinaan kelompoktani.


Daftar Pustaka

Adjid, D. A. 1981. Kelompoktani: Pembuka Cakrawala dan Sekaligus Penggerak bagi
Terwujudnya Pertanian Rakyat yang Selalu Maju. dalam Dasar-dasar Pembinaan
Kelompoktani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. 159-170. Satuan
Pengendali Bimas. Jakarta

BBKP. 2003. Programa Penyuluhan Pertanian Provinsi Jambi Tahun 2003. Badan Bimas
Ketahanan Pangan Provinsi Jambi.

Deptan. 1989. Pedoman Pembinaan Kelompoktani. Departemen Pertanian.

Deptan. 1993. Buku Pintar Penyuluhan Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Faisal, S. 2003. Format-format Penelitian Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.

Heim, F. G. 1990. How to Work with Farmers: A Manual for Field Workers, Based on
the Case of Thailand. Verlag Josef Margraf. Jerman.

Llanto, G.M. dan Balkenhol, B. 1996. Asian Experience on Collateral Substitutes: Breaking
Barriers to Formal Credit. 1 – 33. Apraca – ILO. Manila – Philippine.

Martaamidjaja, A.S. 1993. Agricultural Extension System in Indonesia. Ministry of
Agriculture. Jakarta.

Oxby, C. 1983. “Farmer Groups” in Rural Areas of the Third World. Community
Development Journal. 18(1):50-59.

Shahab, Y. 2003. Metode Kuantitatif: Materi Pelatihan Penelitian Sosial. CEIA
(Center for East Indonesian Affairs), Jakarta.

Sukaryo, D.G. 1983. Farmer Participation in the Training and Visit System and the Role
Of the Village Extension Workers: Experience in Indonesia. dalam Cernea, M.M.
et. al. (Ed). Agricultural Extension by Training and Visist: the Asian Experience.
18 – 25. The World Bank. Washington, D.C. U.S.A.


(Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi tanggal 13 – 14 Desember 2004 diselenggarakan Oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi)

5 JURUS KEMAMPUAN KELOMPOK TANI

1.    KEMAMPUAN MERENCANAKAN :

A.    Kelas Belajar

  Merencanakan kebutuhan belajar;
  Merencanakan pertemuan/musyawarah.

B.    Wahana Kerjasama

  Merencanakan pemanfaatan sumberdaya (pelaksanaan rekomendasi teknologi);
  Merencanakan kegiatan pelestarian lingkungan.

C.    Unit Produksi

  Merencanakan definitif kelompok (RDK), Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan rencana kegiatan kelompok lainnya;
  Merencanakan kegiatan usaha(usahatani berdasarkan analisa usaha,peningkatan usaha kelompok,produk sesuai permintaan pasar,pengolahan dan pemasaran hasil, penyediaan jasa).

2.    KEMAMPUAN MENGORGANISASIKAN :

A.    Kelas Belajar

  Menumbuh kembangkan kedisiplinan kelompok;
  Menumbuh kembangkan kemauan/motivasi belajar anggota.

B.    Wahana Kerjasama

  Mengembangkan aturan organisasi kelompok.

C.    Unit Produksi

  Mengorganisasikan pembagian tugas anggota dan pengurus kelompoktani.

3.    KEMAMPUAN MELAKSANAKAN :

A.    Kelas belajar

  Melaksanakan proses pembelajaran secara kondusif;
  Melaksanakan pertemuan dengan tertib.


B.    Wahana Kerjasama

  Melaksanakan kerjasama penyediaan jasa pertanian;
  Melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungan;
  Melaksanakan pembagian tugas;
  Menerapkan kedisiplinan kelompok secara taat azas;
  Melaksanakan dan mentaati kesepakatan anggota;
  Melaksanakan dan  mentaati  peraturan/perundangan yang berlaku;
  Melaksanakan pengadministrasian/pencatatan kegiatan kelompok.

C.    Unit Produksi

  Melaksanakan pemanfaatan  sumberdaya secara optimal;
  Melaksanakan RDK dan RDKK;
  Melaksanakan kegiatan usahatani bersama;
  Melaksanakan penerapan teknologi;
  Melaksanakan pemupukan dan penguatan modal usahatani;
  Melaksanakan pengembangan fasilitas dan sarana kerja;
  Melaksanakan dan mempertahankan kesinambungan produktivitas.


4.    KEMAMPUAN MELAKUKAN PENGENDALIAN DAN PELAPORAN :

  Mengevaluasi kegiatan perencanaan;
  Mengevaluasi kinerja organisasi/kelembagaan;
  Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan kelompoktani;
  Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan.

5.    KEMAMPUAN MENGEMBANGKAN KEPEMIMPINAN  KELOMPOKTANI :

A.    Kelas Belajar

  Mengembangkan  keterampilan  dan  keahlian  anggota dan pengurus kelompoktani;
  Mengembangkan kader-kader pemimpin;
  Meningkatkan kemampuan anggota untuk melaksanakan hak dan kewajiban.

B.    Wahana Kerjasama

  Meningkatkan hubungan kerja sama dalam pengembangan organisasi;
  Meningkatkan hubungan kerja sama dalam pengembangan usahatani.

C.    Unit Produksi

  Mengembangkan usaha kelompok;
  Meningkatkan hubungan  kerja sama dengan mitra usaha.





Minggu, 14 Oktober 2012

AD/ART Kelompok Tani


ANGGARAN DASAR

KELOMPOK TANI TIRTO MAJU

Desa Butang Baru, Kec. Mandiangin, Kab. Sarolangun



Bab I
Nama dan tempat
Pasal 1
Kelompok Tani  ini bernama Kelompok Tani  “TIRTO MAJU” yang berkedudukan di Desa Butang Baru, , Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun.
Waktu dan pembentukan
Pasal 2
Kelompok Tani ini dibentuk tanggal 13 Januari 2008 untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Bab II
Azas dan tujuan
Pasal 3
Kelompok Tani ini berazaskan Pancasila dan UUD 1945 dengan tujuan :
  1. Meningkatkan kesejahteraan anggota secara umum melalui usaha jasa dan Usaha Tani.
  2. Meningkatkan rasa Kebersamaan dan Gotong Royong.
U s a h a
Pasal 4
Kelompok berusaha mencapai tujuan dalam pasal 3 dengan jalan :
  1. Memupuk kerjasama yang harmonis sesama anggota kelompok dalam pengelolaan  usaha dalam arti luas secara terintegrasi, terpadu dan profesional.
Lambang
Pasal 5
Lambang Kelompok diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan petunjuk tersendiri.



Bab III

Anggota dan sanksi

Pasal 6

Anggota kelompok semuanya berdomisili di Desa Butang Baru.

Pasal 7
Saksi dikenakan kepada anggota ataupun pengurus kelompok yang tidak mentaati peraturan yang berlaku.

Bab IV
Rapat anggota
Pasal 8
Rapat Anggota diadakan secara rutin setiap tiap 3 bulan dalam hitungan tahun caka, atau bukan pada hari tersebut apabila keadaan tidak memungkinkan. Sedangkan rapat luar biasa diadakan apabila ada hal-hal penting dan mendesak yang perlu dibahas.

Bab V
Keuangan
Pasal 9
1. Sumber keuangan kelompok adalah :
a.                    Simpanan pokok anggota ;
  1. Hasil Usaha Kelompok ;
  2. Bunga uang pinjaman ;
  3. Sumbangan Sukarela dari anggota Kelompok ;
  4. Pendapatan lain yang sah.
2. Pengelolaan Keuangan Kelompok :
          a.  Keuangan dikelola berdasarkan persentase sebagai berikut :
      i.               30% SHU (Sisa Hasil Usaha)
  1. 20% Dana Operasional
  2. 20% dana Perawatan
  3. 30% Kas Kelompok (Pengembangan).
b.  Selengkapnya diatur pada ART.


Bab VI
perubahan anggaran dasar
Pasal 10

Perubahan Anggaran Dasar dapat dilakukan dalam rapat anggota yang dihadiri paling sedikit 50% ditambah 1 orang anggota, dengan persetujuan ¾ dari anggota yang hadir.

Pembubaran
Pasal 11
  1. Kelompok ini dapat dibubarkan apabila dikehendaki dan mendapat dukungan 80% dari seluruh jumlah anggota, dan dibahas dalam rapat anggota.
  2. Pembubaran akan dianggap sah apabila rapat dihadiri oleh 50% ditambah 1 orang anggota dan mendapat persetujuan ¾ dari anggota yang hadir.
  3. Sebagai akibat dari pembubaran tersebut seluruh harta kekayaan dan segala resiko dipikul serta ditanggung bersama secara adil dan merata.
Penutup
Pasal 12
  1. Perubahan AD/ART ini dapat dilaksanakan berdasarkan Rapat Anggota.
  2. Anggaran Dasar Kelompok Tani Tirto Maju ini disahkan kembali melalui rapat Anggota tanggal  22 Desember 2008.












ANGGARAN RUMAH TANGGA
KELOMPOK TANI TIRTO MAJU
Desa Butang Baru, Kec. Mandiangin, Kab. Sarolangun


Bab I
Nama dan tempat kedudukan
Pasal 1
Nama dan tempat  berkedudukannya kelompok ini sesuai dengan yang tercantum bab I Pasal 1 Anggaran Dasar.

Waktu pembentukan
Pasal 2
Sesuai dengan BAB I , Pasal 2 Anggaran Dasar.

Bab II
Azas dan tujuan
Pasal 3
Sesuai dengan BAB II, Pasal 3, ayat 1 dan 2 Anggaran Dasar.

Usaha
Pasal 4
Usaha kelompok ini dibagi menjadi 3 (tiga)  bagian yaitu :

  1. Usaha jangka pendek:
      • memupuk kesadaran anggota dalam melaksanakan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan kelompok.
  1. Usaha jangka menengah
      • Senantiasa memupuk kerjasama inter dan antar kelompok.
      • Menerapkan teknologi pengelolaan usaha secara tepat guna.
  2. Usaha jangka panjang
      • setiap anggota siap menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan baik intra maupun antar kelompok.
      • Mengelola Usaha atas dasar analisa ekonomi dan financial yang benar dan menguntungkan.

Lambang
Pasal 5
Lambang (Logo) kelompok ini diatur dalam lampiran tersendiri.





Pengertian simbul



Lingkaran                     : Persatuan yang berkesinambungan berlandas pada ketulusan
Gambar                  : Bapak, Ibu dan Anak sebagai anggota Kelompok Tani
Pengertian nama :
Adapun pengertian nama kelompok usahatani “Tirto Maju” adalah sebagai berikut :
Tirto Maju adalah kata majemuk (Bahasa Daerah Jawa), yang artinya Air mengalir dan diharapkan kelompoktani bias maju dan berkembang.

MOTTO  : Ikhlas dan Tawakkal.




Bab III
Pasal 6
Organisasi
Struktur organisasi ini sesuai dengan lampiran pada AD/ART ini.

Bab IV
Pengurus
Pasal 7

Pengurus kelompok terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Seksi Humas, Seksi Industri Hulu, Seksi Budidaya dan Seksi Industri Hilir.
Tugas pokok masing-masing pengurus :
2.                   Ketua :        Mengkoordinir kegiatan kelompok baik keluar maupun kedalam   kelompok.
  1. Sekretaris     :       Mengatur Administrasi kelompok.
  2. Bendahara     :       Mengatur keuangan kelompok.
  3. Seksi Humas  :       Membantu dalam urusan sosial kemasyarakatan
  4. Seksi Industri Hulu :           mencari dan menemukan teknologi terapan sesuai keadaan kelompok.
  5. Seksi Budidaya        :       Membantu teknis pengembangan di lapangan.
  6. Seksi Industri Hilir : Menemukan prospek keuntungan dan peluang pasar.


pasal 8
9.                                                             Masa jabatan pengurus 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali tanpa batas waktu.
    1. Pemilihan Pengurus diadakan pada rapat Anggota.  
    2. Pengurus dapat diganti  sebelum masa jabatannya habis apabila telah lalai dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Bab V
Anggota
Pasal 9
12.                Setiap anggota berhak untuk keluar atau mengundurkan diri dari keanggotaan.
    1. setiap anggota diperkenankan untuk mengibahkan atau menjual sahamnya kepada orang lain kendati tanpa sepengetahuan anggota sebelumnya.
    2. Bagi anggota yang mengundurkan diri tidak mendapatkan  konvensasi, kecuali dengan alasan tertentu sesuai dengan persetujuan anggota kelompok.

Pasal 10
Hak dan Kewajiban anggota :
15.                Setiap anggota memiliki Hak dan Kewajiban yang sama didalam kelompok.
    1. Setiap anggota wajib mematuhi dan menjungjung tinggi peraturan yang berlaku.
    2. Setiap anggota wajib ikut serta berperan aktif dalam upaya kemajuan kelompok.

Sanksi-sanksi
Pasal 11

Sanksi adalah segala sesuatu ketentuan – ketentuan hukum yang dikenakan kepada anggota atau pengurus yang tidak mentaati ketentuan kelompok yang telah disepakati bersama.

Pasal 12

Untuk melaksanakan sesuai dengan pasal 11 diatas kelompok tani Tirto Maju menggunakan sanksi berupa :
R.                  Tindakan Peringatan
    1. Tindakan Administrasi.
    2. Dikeluarkan dari anggota kelompok

Rapat anggota
Pasal 13

1. Rapat anggota dapat dibagi menjadi 3 jenis :
u.                   Rapat rutin tiap 3 bulan.
    1. Rapat tahunan.
    2. Rapat khusus / luar biasa bila dipandang perlu.

2. Tata cara pelaksanaan rapat.
x.                   Rapat Anggota dilaksanakan di Sekretariat Kelompok atau di rumah salah satu pengurus.
    1. Rapat Anggota dapat dijalankan apabila dihadiri oleh anggota sekurang-kurangnya 2/3 anggota (quorum).
    2. Apabila pada saat Rapat Anggota tidak memenuhi quorum dan dibatalkan maka Rapat anggota selambat-lambatnya akan dilaksanakan dalam jangka waktu 1 minggu.
    3. Rapat Khusus dilaksanakan dirumah salah satu pengurus.
    4. Rapat Khusus dihadiri oleh seluruh anggota berdasarkan quorum.
    5. Rapat Khusus dilaksanakan atas inisiatif pengurus berdasarkan usul /masukan dari anggota.

Pasal 14
Keuangan
Sumber keuangan kelompok diperoleh dari :
30.                Simpanan pokok anggota ;
    1. Usaha Kelompok;
    2. Sumbangan sukarela dari anggota Kelompok  dan
    3. Sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat.

Pengelolaan uang kelompok :
      • 30 % dari pendapatan dibagikan kepada anggota Kelompok sebagai sisa hasil usaha (SHU) yang dibagikan secara merata setiap 1 (satu) tahun sekali.
      • 20% merupakan dana operasional yang didalamnya sudah termasuk ongkos sewa gudang sebesar 5% setiap penyewaan tenda.
      • 20% untuk beaya perawatan.
      • 30% merupakan Kas yang selanjutnya untuk dana pengembangan Kelompok.

Bab VI
Pasal 15
Peraturan khusus
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini diatur lebih lanjut berdasarkan  hasil keputusan rapat anggota.


Penutup
Pasal 16
Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak ditetapkan